Bismillah
Selalu
Beda antara Yang Yakin dan Yang Ragu...
Penggarang:
Muhammad Makhdlori
Ringkasan
cerita
Pemuda itu bernama akbar, anak seorang kiai yang
memimpin pondok pesantren di kampungnya. Sewaktu Akbar masih kecil , ia pernah
terjatuh dari gendongan pembantunya. Namun, si pembantu tidak mau memberi tahu
orang tua Akbar, karena ia takut akan dipecat.
Setelah beberapa lama, peristiwa itu akhirnya
diketahui oleh kedua orang tua Akbar saat memeriksa Akbar ke dokter, karena
Akbar terus menagis dan mengeluh sakit pada kakinya. Dokter yang memeriksanya
mengatakan bahwa ada tulang retak yang membusuk, karena lama tidak dilakukan
tindakan medis. Tidak ada penaganan lain, kecuali tulangnya harus diganti
dengan platina. Keluarga sepakat. Operasi pun dilakukan. Tahun demi tahun,
Akbar tumbuh dewasa, namun kakinya tidak tumbuh sempurna. Hanya tumbuh panjang
dan kecil seperti garan pacul.
Akbar tidak dapat menerima keadaannya. Perasaan malu
dan marah karena kerap dihina membuat sikapnya bertemperamen pemarah. Jika
ingat tentang kakinya, seketika ia mengentak-entakkan kaki semabri
berteriak, “ kaki sialan, kenapa kakiku
cacat!Ah...., Ibu, kenapa kamu lahirkan anakmu sebagai anak cacat?!
Sialan!Setan!
Sebagai pelampisan, ia sering bermabuk-mabukan,
membuat keributan dipesantren maupun di kampung. Dengan cara seperti itu, ia
merasa bisa tampil sempurna sebagaimana pemuda lainnya.
Orang tua Akbar sangat malu dan terpukul karena
perilakunya. Apalagi ayahnya, Kiai Burhan, seorang pemimpin pondok pesantren di
kampungnya. Mereka sepakat mengirimkan Akbar ke pesantren.
Semula, Akbar menolak hendak dimasukkan ke
pesantren. Namun, setelah dibujuk secara halus, ia akhirnya setuju. Kedua orang
tuanya tersenyum lega.
Didalam pesantren, Akbar akan di didik dengan sentuhan-sentuhan
agama. Ia akan diawasi ketat oleh kiai pengasuhnya. Apalagi, pengasuh pesantren
itu adalah teman sebilik ayah Akbar sewaktu dulu menuntut ilmu di pondok
pesantren.
Sudah satu tahun Akbar tinggal di pesantren. Sedikit
demi sedikit, perilakunya berubah. Ia mau mengaji bersama dengan santri lain di
masjid. Bahkan, kitab tafsir jalalanin
pun bisa dikhatamkan hanya dalam waktu singkat. Hal itu membuat Kiai Maghfur
bangga, karena ternyata Akbar anak yang cerdas.
Masalah muncul saat Akbar tertarik dengan seorang
gadis di pesantren. Gadis itu sangat cantik dan pintar. Hamidah,gadis idaman
para santriwan itu adalah
Akbar memang paling jago dalam mendekati wanita.
Tutur katanya yang manis membuat siapa pun perempuannya , akan hanyut terbuai.
Namun, tatkala Akbar mengutarakan rasa cintanya, ia kerap ditolak dengan alasan
kondisi fisiknya. Inilah yang membuatnya sakit hati. Tak ayal, ia kembali putus
asa dengan mengutuk Tuhan yang tidak adil.
Perilaku
buruk Akbar sulit dihilangkan. Saat ia galau dan gusar, pelampiasannya adalah
mabuk bersama teman-teman preman kampung dekat pesantren.
Suasana pemakaman Brujulan sepe. Dingin menyusup ke
pori-pori. Sementara itu, Akbar hanya diam dengan tatapan kosong, sembari
memegangi batu nisan sebuah makam. Kepalanya menunduk sembari berucap, “Aku
ingin mati, sebagaimana kalian yang sudah menghuni di alam kubur. Tidak sudi
aku hidup jika harus mengalami kegagalan bertubi-tubi. Jemputlah aku,
jemputlah....” suaranya lirih, tidak berteriak seperti sebelumnya.
“sesungguh tidak ada gunanya ilmu yang saya dapatkan
dari kiai. Tidak ada gunanya aku mengkhatamkan jalalain. Sesungguhnya Tuhan
sama sekali tidak berbelas kasih terhadapku.
Akbar yang depresi pun melakukan hal-hal yang tidak
wajar. Terbukti, ia mabuk dan berteriak histeris di kuburan, menghujat dan
memaki-maki Tuhan, bahkan ia ingin mati.
Kondisi Akbar yang tiba-tiba lumpuh tanpa sebab yang
jelas membuktikan bahwa kewenangan Tuhan tetap di atas segalanya. Zaid
menyakini semua itu sebagai peringatan bagi siapa pun, tanpa kecuali.
Zaid, salah satu asisten Kiai Manghfur yang
ditugaskan untuk mengurus semua santri yang ada di pesantren. Sebelum menjadi
santri di pesantren tersebut, Zaid adalah mantan narapidana yang kenakalanya
jauh lebih mengerikan. Kemudian ia menjadi santri di pesantren Kiai Mangfur
.
Manfaat
atau pelajaran yang diperoleh dari novel tersebut:
·
Semua kembali pada sang Pencipta. Mereka
yang menghina dirinya, berarti menghina Tuhan. Karena Dialah yang menciptakan dan
yang menentukan. Jika sudah berpikir demikian, serasa tidak berbeban bila
menerima penghinaan.
·
Kesehatan akan terasa berharga jika
sebelumnya menderita sakit. Semua berkah dan rahmat Allah tidak akan terasa
jika sebelumnya tidak mengalami ujian
·
Dengan kita mengucapkan kalimat
bismillaahir rahmaanir rahiim, maka hamba telah menyambungkan diri dengan
zat-nya dan masuk dalam kewenangan-Nya.
Tokoh
utama
Pemilik pesantren : kiai manghfur
Asisten: zaib
Anak kiai: hamidah
Para santri: akbar, jihan, dan lain-lainnya