KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
SWT, Sehingga kami dapat menyusun makalah tentang “Hukum Perdata Indonesia”.
Dengan menyelesaikan makalah ini semoga dapat berguna bagi para pembaca, serta
teman- teman sekalian. Hukum perdata indonesia
merupakan hukum perdata milik
bangsa indonesia yang berinduk pada Kitab Undang –Undang Hukum Perdata
(KUHP) atau Burgerlijk Wetboek (BW).
Sedangkan ketentuan KUHP itu sudah dicabut dan diganti dengan undang
–undang Indonesia , sedangkan sebagian lainnya masih berlaku , walaupun ada
anggapan bahwa keberlakunay itu tidak secara mutlak . Hal ini disebabkan karena
KUHP sekarang dianggap tidak lebih dari himpunan peraturan hukum tidak
tertulis . Dengan demikian semoga makalah ini dapat berguna bagi para mahasiswa
dalam kelancaran proses belajarnya.
jakarta,
23 Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Judul.......................................................................................................
1.
Kata Pengantar.......................................................................................................
2
Daftar
Isi................................................................................................................
3
Bab I Pendahuluan.................................................................................................
4
A.
Latar Belakang........................................................................................
4
B.
Rumusan Masalah..................................................................................
4
C.
Tujuan.....................................................................................................
4
Bab II
Pembahasan..............................................................................................
5
A,Tempat Pengaturan
Dan Sistem Hukum Perikatan...............................5
B. Sumber-Sumber
Perikatan.......................................................................
6
C. Perikatan Dan Unsur-Unsur
Perikatan..................................................... 7
D. Jenis- Jenis
Perikatan..............................................................................
13
E. Berakhirnya
Perikatan............................................................................
20
Bab III
Penutup....................................................................................................
21
Daftar
Pustaka.......................................................................................................
22
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Dapat mengetahui pengertian
,dasar, pembentukan , dan berlakunya hukum perdata . Hal ini mengingat keadaan
hukum perdata yang berlaku diindonesia , baik sebelum maupun sesudah indonesia
merdeka.
Dengan demikian , pembahasan
mengenai istilah dan pengertian hukum perdata, luas lapangan ,hukum perdata
material, sumber hukum perdata ,sejarah terjadinya KUHP,berlakunya KUHP di
dindonesia ,sistematika hukum perdata , subyek hukum, domisili hukum , catatan
sipil ,perkawinan, harta dalam perkawinan,putusnya perkawinan, tempat dan
mengatur hukum kebendaan dan lain-lain.
B. RUMUSAN MASALAH.
Kita dapat mengetahui pengertian dan istilah hukum perdata itu seperti
apa?
Apasaja yang mengatur hukum tentang orang?
Hukum keluarga itu seperti apa?
Dan dapat mengetahui hukum kebendaan dan hukum perikatannya?
C. TUJUAN.
Agar dapat mempermudah dalam belajar mahasiswa dalam mengetahui hukum perdata.
BAB II
HUKUM PERIKATAN
A. Tempat Pengaturan
Dan Sistem Hukum Perikatan.
Tempat Pengaturan Hukum Perikatan
Ada perbedaan mengenai
tempat hukum perikatan dalam HukumPerdata.Apabila dilihat lebih jauh dari segi
sistematikanya, ternyata hukumperdata di Indonesia mengenal dua sitematika
yaitu menurut doktrin atau ilmupengetahuan hukum dan menurut KUH Perdata.
Pembagian menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum, yaitu
a.Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi.
b.Hukum tentang keluarga/hukum keluarga
c.Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda.
b.Hukum tentang keluarga/hukum keluarga
c.Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda.
v Hak Kekayaan Absolut
v Hak Kebendaan
v Hak Atas Benda-benda immateriil.
v Hak Kekayaan Relatif
d. Hukum waris.
Berdasarkan pembagian
sistematika hukum perdata di Indonesia menurut doktrin atau ilmu pengetahuan,
diketahui bahwa tempat hukum perikatan ada di bagian hukum tentang harta
kekayaan/hukum hartakekayaan/hukum harta benda.Mengenai hak-hak kekayaan yang
absolut sebagian diatur dalam Buku II KUH Perdata dan sisanya diatur diluar,
didalam undang-undang tersendiri,
sedangkan hak-hak kekayaan yang relatif
mendapat pengaturannya dalam Buku III KUH Perdata. Perlu diingat, bahwa
pembagian menurut KUH Perdata atau BW tidak sejalan
dengan pembagian menurut doktrin atau ilmu pengetahuan.
Pembagian menurut KUH Perdata yaitu :
a.Buku I tentang orang.
b.Buku II tentang benda
c.Buku III tentang perikatan
d.Buku IV tentang pembuktian dan daluwarsa.
a.Buku I tentang orang.
b.Buku II tentang benda
c.Buku III tentang perikatan
d.Buku IV tentang pembuktian dan daluwarsa.
Berdasarkan pembagian sistemtika
hukum perdata di Indonesiamenurut KUH Perdata telah jelas dimana letak hukum
perikatan yaitu padaBuku III yaitu tentang perikatan.
Hukum perikatan diatur
dalam Buku III BW. Dalam Buku III BWterdiri dari 18 bab dan tiap-tiap bab
dibagi lagi menjadi bagian-bagian yaituketentuan-ketentuan umum dan
ketentuan-ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan umum diatur dalam bab I, bab
II, bab III, (hanya pasal 1352 dan1353) dan bab IV. Sedangkan
ketentuan-ketentuan khusus diatur dalam bab III(kecuali pasal 1352 dan 1353)
dan bab V s/d bab XVIII. Ketentuan-ketentuankhusus ini memuat tentang perikatan
atau perjanjian bernama.
Termasuk dalam ketentuan umum yaitu :
Bab I mengatur tentang perikatan pada umumnya.
Bab II mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.
Bab I mengatur tentang perikatan pada umumnya.
Bab II mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.
Bab III mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-
undang.
Bab IV mengatur tentang hapusnya perikatan.
Bagian khusus adalah
perjanjian-perjanjian khusus atau perjanjian-perjanjian bernama yang telah
diatur dalam KUH Perdata dan KUHD.Hubungan antara KUH Perdata dan KUHD dapat
diketahui dalam pasal 1KUHD.KUHD mengatur perjanjian-perjanjian khusus yang
lebih modernyang belum ada pada zaman romawi dulu, karena adanya
pengaruhhubunganperdagangan internasional yang lebih efektif.
Bagian umum tersebut di
atas merupakan asas-asas dari hukumperikatan, sedangkan bagian khusus mengatur
lebih lanjut dari asas-asas iniuntuk peristiwa-peristiwa khusus.
Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan sistem ”terbuka”,artinya setiap
orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang sudahditentukan namanya
maupun yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Inilah yang disebut
kebebasan berkontrak.Tetapi keterbukaan itudibatasi dengan pembatasan umum,
yaitu yang diatur dalam pasal 1337 KUHPerdata.Pembatasan tersebut yaitu
sebabnya harus halal, tidak dilarang olehundang-undang, tidak bertentangan
dengan kesusilaan, dan tidak bertentangandengan ketertiban umum. Serta dibatasi
dengan pasal 1254 KUH Perdata yaitusyaratnya harus mungkin terlaksana dan harus
susila
B. Sumber-Sumber
Perikatan.
Sumber-sumber Hukum Perikatan
Dari
bagan di atas dapat diketahui bahwa sumber pokok dari perikatan adalah perjanjian
dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapatdibagi lagi menjadi
undang-undang & perbuatan manusia dan undang-undangsaja.Sedangkan sumber
dari undang-undang dan perbuatan manusiadibagilagi menjadi perbuatan yang
melawan hukum dan perbuatan yang menurut hukum.
Pasal pertama dari Buku
III undang-undang menyebutkan tentangterjadinya perikatan-perikatan dan
mengemukakan bahwa perikatan-perikatantimbul dari persetujuan atau
undang-undang. Pasal 1233 :”Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”.
Perikatan yang berasal
dari undang-undang dibagi lagi menjadiundang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal initergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dariundang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten
gevolge van’smensen toedoen).Perikatan yang timbul dari undang-undang saja
adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104
KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang
Perikat lain dalam pasal 625 KUH
Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan
kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan.
Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas
terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral
dan
fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio
naturalis), legaat (hibah
wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka
hal-hal tersebut termasuk sebagai sumber-sumber perikatan.
C. Perikatan
Dan Unsur-Unsur Perikatan.
Unsur- Unsur
Perikatan:
Perikatan:
Perikatan adalah hubungan hukum
antara dua orang atau lebih didalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak
mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi.
Sedangkan perjanjian adalah perbuatan hukum. Unsur-unsur perikatan :
1.
Hubungan
hukum.
2.
Harta
kekayaan.
3.
Pihak yang
berkewajiban dan pihak yang berhak.
4.
Prestasi.
Unsur-unsur Perikatan:
Dari
pengertian-pengertian mengenai perikatan ,maka dapat diuraikanlebih jelas
unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan yaitu :
1. Hubungan
Hukum
Hubungan
hukum adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan
melekat kewajiban pada pihak lainnya.Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum.Hubungan hukum ini perlu
dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan
kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan.Pengingkaran terhadap hubungan- hubungan
tersebut tidak menimbulkan akibat hukum.
Kenyataan
hukum adalah suatu kenyataan yang menimbulkan akibat hukum yaitu terjadinya,
berubahnya, hapusnya, beralihnya hak subyektif, baik dalam bidang hukum
keluarga, hukum benda, maupun hukum perorangan.
Kelahiran
adalah kenyataan hukum sedangkan akibat hukum adalah kewajiban-kewajiban untuk
memelihara dan memberikan pendidikan; perikatan adalah akibat hukum dari
persetujuan.
Perbuatan-perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dengan mana orang yang
melakukan perbuatan itu bermaksud untuk menimbulkan suatu akibat hukum.
Perbuatan-perbuatan
hukum yang bukan merupakan perbuatan- perbuatan hukum. Adakalanya undang-undang
memberi akibat hukum kepada perbuatan-perbuatan, dimana orang yang melakukannya
tidak memikirkan sama sekali kepada akibat-akibat hukumnya. Pada pokoknya tidak
bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum.Perbuatan-perbuatan yang bukan
merupakan perbuatan hukum ini dibagi lagi menjadi dua yaitu perbuatan-perbuatan
menurut hukum (misalnya, perwakilan sukarela dan pembayaran tidak terutang) dan
perbuatan-perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 s/d 1380 KUH Perdata).
Peristiwa-peristiwa
hukum. Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum pada suatu keadaan atau
peristiwa yang bukan terjadi karena perbuatan manusia : pekarangan yang
bertetangga, kelahiran, dan kematian.
2. Kekayaan
Hukum
perikatan merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht) dan
bagian lain dari Hukum Harta Kekayaan adalah Hukum Benda.
Untuk
menentukan bahwa suatu hubungan itu merupakan perikatan, pada mulanya para
sarjana menggunakan ukuran dapat ”dinilai dengan uang”. Suatu hubungan dianggap
dapat dinilai dengan uang, jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai
dengan uang.Akan tetapi nyatanya ukuran tersebut tidak dapat memberikan
pembatasan, karena dalam kehidupan bermasyarakat sering kali terdapat
hubungan-hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat badaniah
akibat perbuatan seseorang.
Jadi
kriteria ”dapat dinilai dengan uang” tidak lagi dipergunakan sebagi suatu
kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan. Namun, walaupun ukuran
tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi bukan berarti bahwa ”dapat dinilai
dengan uang” adalah tidak relevan, karena setiap perbuatan hukum yang dapat
dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan.
3.
Pihak-pihak
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu yaitu kreditur dan
debitur.Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek- subyek perikatan, yaitu
kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi.Kreditur
biasanya disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur biasanya pihak yang
pasif.Sebagai pihak yang aktif kreditur dapat melakuka tindakan-tindakan
tertentu terhadap debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi
kewajibannya.Tindakan-tindakan kreditur dapat berupa memberi
peringatan-peringatan menggugat dimuka pengadilan dan sebagainya.
Debitur
harus selalu dikenal atau diketahui, hal ini penting karenaberkaitan dalam hal
untuk menuntut pemenuhan prestasi.
Pada setiap
perikatan sekurang-kurangnya harus ada satu orang kreditur dan
sekurang-kurangnya satu orang debitur.Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam
suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang
debitur.
4. Objek
Hukum (Prestasi)
Objek dari
perikatan adalah apa yang harus dipenuhi oleh si berutang dan merupakan hak si
berpiutang. Biasanya disebut penunaian atau prestasi, yaitu debitur
berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi.Wujud
dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesutau dan tidak berbuat sesuatu
(Pasal 1234 BW).
Pada
perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu
barang atau berkewajiban memberikan kenikmatan atas sesuatu barang, misalnya
penjual berkewajiban menyerahkan 7 barangnya atau orang yang menyewakan
berkewajiban memberikankenikmatan atas barang yang disewakan.
Pada
perikatan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukansesuatu yang
bukan berupa memberikan sesuatu misalnya pelukis,penyanyi, penari, dll.
Pada
perikatan tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukanperbuatan tertentu
yang telah dijanjikan.Misalnya tidak mendirikanbangunan ditanah orang lain,
tidak membuat bunyi yang bising yang dapatmengganggu ketenangan orang lain,
dll.
Objek
perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu :
a. Obyeknya
harus tertentu.
Dalam Pasal
1320 sub 3 BW menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu obyek
tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan.Karena
perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah.Sebagai contoh
yaitu Pasal 1465 BW yang menetukan bahwa pada jual beli harganya dapat
ditentukan oleh pihak ketiga.Perikatan adalah tidak sah jika obyeknya
tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan.Misalnya, sesorang menerima
tugas untuk membangun sebuah rumah tanpa disebutkan bagaimana bentuknya
dan berapa luasnya.
b. Obyeknya
harus diperbolehkan
Menurut
Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika
obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika
dilarang oleh undang-undang. Pasal 23 AB menentukan bahwa semua
perbuatan-perbuatan dan persetujuan-persetujuan adalah batal jika bertentangan
dengan undang-undang yang menyangkut ketertiban umum atau kesusilaan. Di
satu pihak Pasal 23 AB lebih luas daripada Pasal-pasal 1335 dan 1337
BW, karena selain perbuatan-perbuatan mencangkup juga persetujuan
akan tetapi di lain pihak lebih sempit karena kebatalannya hanya
jika bertentangan dengan undang-undang saja. Kesimpulannya
bahwa 8 objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
c. Obyeknya
dapat dinilai dengan uang.
Berdasarkan
definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah
suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta
kekayaan 8 objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Berdasarkan
definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah
suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta kekayaan.
d. Obyeknya
harus mungkin.
Dahulu untuk
berlakunya perikatan disyaratkan juga prestasinya harusmungkin untuk
dilaksanakan.Sehubungan dengan itu dibedakan antaraketidakmungkinan obyektif
dan ketidakmungkinan subyektif. Padaketidakmungkinan obyektif tidak akan timbul
perikatan sedangkan pada ketidakmungkinan subyektif tidak menghalangi
terjadinya perikatan. Prestasi pada ketidakmungkinan obyektif tidak dapat dilaksanakan
oleh siapapun.Contoh : prestasinya berupa menempuh jarak Semarang -
Jakarta dengan mobil dalam waktu 3 jam.
Perbedaan antara ketidakmungkinan obyektif dengan ketidakmungkinan
subyektif yaitu terletak pada pemikiran bahwa dalam hal ketidakmungkinan
pada contoh pertama setiap orang mengetahui bahwa prestasi tidak mungkin
dilaksanakan dan karena kreditur tidak dapat mengharapkan pemenuhan
prestasi tersebut. Sedangkan dalam contoh kedua, ketidakmungkinan itu
hanya diketahui oleh debitur yang bersangkutan saja.
Dalam
perkembangan selanjutnya baik Pitlo maupun Asser berpendapat
bahwa adalah tidak relevan untuk mempersoalkan ketidakmungkinan subyektif
dan obyektif.Ketidakmungkinan untuk melakukan prestasi dari debitur itu
hendaknya dilihat dari sudut kreditur, yaitu apakah kreditur mengetahui
atau seharusnya mengetahui tentang ketidakmungkinan tersebut.Jika
kreditur mengetahui, maka perikatan menjadi batal dan sebaliknya,
jika kreditur tidak mengetahui debitur tetap berkewajiban
untuk melaksanakan prestasi.
D.
Jenis- Jenis
Perikatan.
JENIS-JENIS PERIKATAN
Perikatan dapat dibedakan menurut
:
1.
Isi daripada
prestasinya :
·
Perikatan
positif dan negative.
Perikatan positif adalah
perikatan yang prestasinya berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau
berbuat sesuatu. Sedangkan
pada perikatan negative prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu.
·
Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan.
Adakalanya untuk pemenuhan
perikatan cukup hanya dilakukan dengan salah satu perbuatan saja dan dalam
waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai, misalnya perikatan untuk
menyerahkan barang yang dijual dan membayar harganya.
Perikatan-perikatan semacam ini
disebut perikatan sepintas lalu. Sedangkan perikatan, dimana prestasinya
bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu, dinamakan perikatan
berkelanjutan. Misalnya perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan sewa
menyewa atau persetujuan kerja.
·
Perikatan
alternative.
Perikatan alternative adalah suatu perikatan, dimana
debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang
dipilih, baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan
pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan.
Menurut pasal 1272 BW, bahwa dalam
perikatan alternative debitur bebas dari kewajibannya, jika ia menyerahkan
salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan. Misalnya, A harus
menyerahka kuda atau sapinya kepada B. pasal tersebut adlaah tidak lengkap,
karena hanya mengatur tentang “memberikan sesuatu” dan yang dapat dipilih hanya
diantara dua barang saja. Kekurangan tersebut dilengkapi oleh pasal 1277 BW,
yang mengatakan : asas-asas yangs ama berlaku juga, dalam hal jika ada lebih
dari dua barang yang termasuk ke dalam perikatan yang terdiri dari berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.
Perikatan menjadi murni bila :
a. Jika salah satu barang tidak lagi merupakan objek perikatan (pasal 1274).
b. Debitur atau kreditur telah memilih prestasi yang akan dilakukan.
c. Jika salah satu prestasi tidak mungkin lagi dipenuhi (pasal 1275).
·
Perikatan
fakultatif.
Perikatan fakultatif adalah suatu
perikatan yang objeknya hanya berupa satu prestasi, dimana debitur dapat
mengganti dengan prestasi lain. Jika pada perikatan fakultatif, karena keadaan
memaksa prestasi primairnya tidak lagi merupakan objek perikatan, maka
perikatannya menjadi hapus. Berlainan halnya pada perikatan alternative, jika
salah satu prestasinya tidak lagi dapat dipenuhi karena keadaan memaksa,
perkataannya menjadi murni.
·
Perikatan
generic dan spesifik.
Perikatan generic adalah
perikatan dimana objeknya ditentukan menurut jenis dan jumlahnya. Sedangkan
perikatan spesifik adalah perikatan yang objeknya ditentukan secara terperinci.
Arti penting perbedaan antara perikatan generic dan spesifik adalah dalam hal :
a. Resiko
Pada perikatan spesifik, sejak
terjadinya perikatan barangnya menjadi tanggungan kreditur. Jadi jika bendanya
musnah karena keadaan memaksa, maka debitur bebas dari kewajibannya untuk berprestasi
(pasal 1237 dan 1444 BW).
b. Tempat
pembayarannya (pasal 1393)
Pasal 1393 BW menentukan bahwa jika dalam persetujuan
tidak ditetapkan tempat pembayaran, maka pemenuhan prestasi mengenai barang
tertentu berada sewaktu persetujuan dibuat. Sedangkan pembayaran mengenai barang-barang generic harus dilakukan
ditempat kreditur.
·
Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat
dibagi.
Apakah suatu perikatan dapat
dibagi atau tidak tergantung apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak.
Pasal 1299 BW menentukan bahwa jika hanya ada satu debitur atau satu kreditur
prestasinya harus dilaksanakan sekaligus, walaupun prestasinya dapat
dibagi-bagi. Baru timbul persoalan apakah perikatan dapat dibagi-bagi atau
tidak jika para pihak atau salah satu pihak dan pada perikatan terdiri dari
satu subjek. Hal ini dapat terjadi jika debitur atau krediturnya meninggal dan
mempunyai ahli waris lebih dari satu.
Akibat daripada perikatan yang
tidak dapat dibagi-bagi, adalah bahwa kreditur dapat menuntut terhadap setiap
debitur atas keseluruhan prestasi atau debitur dapat memenuhi seluruh prestasi
kepada salah seorang kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi
menghapuskan perikatan.
Prestasi yang tidak dapat
dibagi-bagi dibedakan :
a. Menurut
sifatnya
Menurut pasal 1296 BW perikatan tidak dapat
dibagi-bagi, jika objek daripada perikatan tersebut yang berupa penyerahan
sesuatu barang atau perbuatan dalam pelaksanaannya tidak dapat
dibagi-bagi.Menurut Asser’s, dalam pengertian hukum sesuatu benda dapat dibagi-bagi
jika benda tersebut tanpa mengubah hakekatnya dan tidak mengurangi secara
menyolok nilai harganya dapat dibagi-bagi dalam bagian-bagian.
b. Menurut
tujuan para pihak
Menurut tujuannya perikatan adalah tidak dapat
dibagi-bagi, jika maksud para pihak bahwa prestasinya harus dilaksanakan
sepenuhnya, sekalipun sebenarnya perikatan tersebut dapat dibagi-bagi. Perikatan untuk menyerahkan hak
milik sesuatu benda menurut tujuannya tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun
menurut sifat prestasinya, dapat dibagi-bagi.
2.
Subjek-subjeknya
:
·
Perikatan solider atau tanggung renteng.
Suatu perikatan adalah solider
atau tanggung renteng, jika berdasarkan kehendak para pihak atau ketentuan
undang-undang :
a. Setiap kreditur dari dua atau lebih kreditur-kreditur dapat menuntut
keseluruhan prestasi dari debitur, dengan pengertian pemenuhan terhadap seorang
kreditur membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya (tanggung renteng
aktif).
b. Setiap debitur dari dua atau lebih debitur-debitur berkewajiban terhadap
kreditur atas keseluruhan prestasi. Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah
seorang debitur, membebaskan debitur-debitur lainnya (tanggung renteng pasif).
Tanggung renteng terjadi karena :
a. Berdasarkan
pernyataan kehendak
Menurut pasal 1278 BW terdapat perikatan tanggung
renteng aktif, jika dalam persetujuan secara tegas dinyatakan bahwa kepada
masing-masing kreditur diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh prestasi.
b. Berdasarkan
ketentuan undang-undang
Perikatan tanggung renteng yang
timbul dari undang-undang tidak banyak kita jumpai. Undang-undang hanya
mengatur mengenai perikatan tanggung renteng pasif. Ketentuan-ketentuan yang
mengatur perikatan tanggung renteng dalam BW adalah pasal 563 BW ayat 2. Mereka
yang merampas dengan kekerasan dan orang yang menyuruhnya tanggungjawab untuk
seluruhnya secara tanggung menanggung.
Akibat daripada perikatan
tanggung renteng aktif
Adalah setiap kresitur berhak
menuntut pemenuhan seluruh prestasi, dengan pengertian bahwa pelunasan kepada
salah satu daripadanya, membebaskan debitur dari kewajibannya terhadap
kreditur-kreditur lainnya (pasal 1278 BW). Sebaliknya debitur sebelum ia
digugat, dapat memilih kepada kreditur yang manakah ia akan memenuhi
prestasinya.
Pelepasan perikatan tanggung renteng
Pelepasan sepenuhnya
mengakibatkan hapusnya tanggung renteng. Sedangkan pada pelepasan sebagian,
bagi debitur-debitur yang tidak dibebaskan dari tanggung renteng, masih tetap
terikat secara tanggung renteng atas utang yang telah dikurangi dengan bagian
debitur yang telah dibebaskan dari perikatan tanggung renteng.
Hapusnya perikatan tanggung
renteng
Perikatan hapus jika debitur
bersama-sama membayar utangnya kepada kreditur atau debitur membayar kepada
semua kreditur. Novasi antara kreditur dengan para debiturnya, menghapuskan
pula perikatan. Menurut pasal 1440 BW, bahwa pembebasan utang kepada salah satu
debitur dalam perikatan tanggung renteng membebaskan para debitur-debitur
lainnya.
·
Perikatan
principle atau accesoire.
Apabila seorang debitur atau lebih terikat sedemikian
rupa, sehingga perikatan yang satu sampai batas tertentu tergantung kepada
perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama disebut perikatan pokok
sedangkan yang lainnya perikatan accesoire. Misalnya perikatan utang dan borg.
Dalam satu persetujuan dapat timbul
perikatan-perikatan pokok dan accesoire, misalnya pada persetujuan jual beli,
perikatan untuk menyerahkan barang merupakan perikatan pokoknya, sedangkan
kewajiban untuk memelihara barangnya sebagai bapak rumah tangga yang baik
sampai barang tersebut diserahkan merupakan perikatan accesoire.
3.
Mulai berlaku dan berakhirnya perikatan :
·
Perikatan
bersyarat.
Suatu perikatan adalah bersyarat, jika berlakunya atau
hapusnya perikatan tersebut berdasarkan persetujuan digantungkan kepada terjadi
atau tidaknya suatu peristiwa yang akan datang yang belum tentu terjadi. Dalam
menentukan apakah syarat tersebut pasti terjadi atau tidak harus didasarkan
kepada pengalaman manusia pada umumnya. Menurut ketentuan pasal 1253 BW bahwa perikatan bersyarat dapat digolongkan
ke dalam :
a. Perikatan
bersyarat yang menangguhkan
Pada perikatan bersyarat yang
menangguhkan, perikatan baru berlaku setelah syaratnya dipenuhi. Misal : A akan
menjual rumahnya kepada B, jika A diangkat menjadi duta besar. Jika syarat
tersebut dipenuhi (A menjadi duta besar), maka persetujuan jual beli mulai
berlaku. Jadi A harus
menyerahkan rumahnya dan B membayar harganya.
b. Perikatan
bersyarat yang menghapuskan
Pada perikatan bersyarat yang
menghapuskan, perikatan hapus jika syaratnya dipenuhi. Jika perikatan telah
dilaksanakan seluruhnya atau sebagian, maka dengan dipenuhi syarat perikatan,
maka :
1. Keadaan akan dikembalikan seperti semula seolah-olah tidak terjadi
perikatan.
2. Hapusnya perikatan untuk waktu selanjutnya.
Dapat dikemukakan sebagai contoh
bahwa perikatan yang harus dikembalikan dalam keadaan semula, adalah misalnya A
menjual rumahnya kepada B dengan syarat batal jika A menjadi Duta Besar. Jika
syarat tersebut dipenuhi, maka rumah dan uang harus dikembalikan kepada
masing-masing pihak.
Syarat-syarat
yang tidak mungkin dan tidak susila
Menurut pasal 1254 BW, syarat
yang tidak mungkin terlaksana dan bertentangan dengan kesusilaan adalah batal.
Perumusan pasal tersebut adalah tidak tepat, karena bukan syaratnya yang batal
akan tetapi perikatannya yang digantungkan pada syarat tersebut. Syarat yang
tidak mungkin harus ditafsirkan sebagai syarat yang secara objektif tidak
mungkin dipenuhi. Jika hanya debitur tertentu saja yang tidak memenuhi
syaratnya, tidak dapat mengakibatkan perikatan batal. Misal A memberikan uang
kepada B dengan syarat jika ia melompat dari ketinggian 100 meter, adalah
batal. Akan tetapi jika A memberikan uang kepada B dengan syarat jika ia
berenang dipemandian adalah sah, sekalipun B tidak dapat berenang.
·
Perikatan
dengan ketentuan waktu.
Perikatan dengan ketentuan waktu adalah perikatan yang
berlaku atau hapusnya digantungkan kepada waktu atau peristiwa tertentu yang
akan terjadi dan pasti terjadi. Waktu atau peristiwa yang telah ditentukan
dalam perikatan dengan ketentuan waktu itu pasti terjadi sekalipun belum
diketahui bila akan terjadi. Jadi dalam menentukan apakah sesuatu itu merupakan
syarat atau ketentuan waktu, harus melihat kepada maksud dari pada pihak.
Perikatan dengan ketentuan waktu dapat dibagi menjadi :
a. Ketentuan
waktu yang menangguhkan
Menurut beberapa penulis
ketentuan waktu yang menanggungkan, menunda perikatan yang artinya perikatan
belum ada sebelum saat yang ditentukan terjadi. Lebih tepat kiranya apa yang
telah ditentukan oleh pasal 1268 BW bahwa perikatannya sudah ada, hanya
pelaksanaannya ditunda. Debitur tidak wajib memenuhi prestasi sebelum waktunya
tiba, akan tetapi jika debitur memenuhi prestasinya, maka ia tidak dapat menuntut
kembali.
b. Ketentuan
waktu yang menghapuskan
Mengenai ketentuan waktu yang
menghapuskan tidak diatur oleh masing-masing secara umum. Memegang peranan
terutama dalam perikatan-perikatan yang berkelanjutan, misalnya pasal 1570 dan
pasal 1646 sub 1 BW. Dengan dipenuhi ketentuan waktunya, maka perikatan menjadi
hapus. Seorang buruh yang mengadakan ikatan kerja untuk satu tahun, setelah
lewat waktu tersebut tidak lagi berkewajiban untuk bekerja.
E.
Berakhirnya
Perikatan.
Hapusnya Perikatan.
Bab IV Buku III KUH
Perdata mengatur tentang hapusnya perikatanbaik yang timbul dari persetujuan
maupun dari undang-undang yaitu dalampasal 1381 KUH Perdata.
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada
delapan cara hapusnya perikatan yaitu :
1. Pembayaran
2.Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.Pembaharuan utang (inovatie)
4.Perjumpaan utang (kompensasi)
3.Pembaharuan utang (inovatie)
4.Perjumpaan utang (kompensasi)
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7.Musnahnya barang yang terutang
8.Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata
adalah :
9.Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
10. Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
9.Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
10. Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Jadi dalam KUH Perdata ada sepuluh cara
yang mengatur tentang
hapusnya perikatan.
Bab III
Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Abdulkadire,”hukum perdata indonesia”, Penerbit PT . Citra Adytia
Bakti,Bandung,1993.
terimakasih informasinya,salam hormat dari Kantor Hukum Balakrama ;
BalasHapusklik www.balakrama.blogspot.com
Tempatnya konsultasi hukum gratis buat anda para pencari keadilan